08 March 2010

Ajining Diri Soko Lathi, Ajining Sariro Soko Busono

Apa yang kita pikirkan ketika melihat seorang pria memakai celana jeans bolong-bolong penuh asesoris, dengan telinga bertindik satu dan rambut jabriknya disemir merah. Itu pasti anak punk. Itu pasti rocker kacangan. Mungkin...
Sekarang kita ganti, apa yang terlintas dipikiran kita ketika melihat lelaki dengan baju koko bersorban hijau dan peci putih. Mungkin kita berpikiran ini orang kalau bukan ustadz pasti kyai.

Dua contoh singkat diatas cuma sebagai gambaran, betapa kita mudah untuk menilai seseorang dari penampilan fisiknya. Walaupun belum tentu penilaian itu benar, tetap saja kita selalu memberi penilaian.

Pepatah jawa mengatakan ajining diri soko lathi, ajining sariro soko busono. Harga diri seseorang diukur dari busananya / penampilan fisiknya, harga diri seseorang diukur dari lisannya / ucapannya. Pepatah itu satu sisi ada benarnya, satu sisi lagi belum tentu benar.

Ajining diri soko lathi, seseorang dihargai karena lisannya dalam artian selalu menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang tidak baik. Dalam hal bertutur kata, selalu dengan lemah lembut, sopan santun, tidak mencela, tidak mengejek, tidak menggunjing, tidak berdusta dan selalu penuh senyum. Imam Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda "Barang siapa beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam..."
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda "Hati-hatilah kamu dengan ini!" sambil menunjuk ke arah lidahnya.

Ajining sariro soko busono, seseorang dihargai karena busananya atau penampilannya. Dalam prespektif dunia pepatah ini sangat mungkin benar walau sebenarnya sangat belum tentu juga. Seseorang dengan pakaian necis pasti akan disangka bahwa dia orang baik-baik. Walau kadang dia penipu atau koruptor. Seperti saya contohkan diatas, orang berbaju koko dengan sorban melintang dan peci putih akan disangka sebagai kyai atau ustadz. padahal mungkin saja dia seorang aktor lagi shooting.

Saya pernah punya pengalaman ketika naik bis dari terminal Tidar Magelang. Ada orang buta dituntun oleh seorang wanita (mungkin istrinya) masuk untuk mengemis. Karena kasihan, akhirnya banyak dari penumpang yang kasih uang. Belum sempat keduanya selesai mengemis, mesin bis sudah dinyalakan dan siap untuk berangkat. Namun keduanya tetap tenang. Ketika roda bis mulai berputar mau keluar dari terminal, tiba-tiba keduanya melompat turun. Para penumpang pada terbengong karena orang yang tadi buta didalam bis ternyata di bawah bisa lari sendiri dan tertawa-tawa sambil melambaikan uangnya ke semua penumpang bis. Rupanya orang tadi pura-pura buta untuk bikin orang lain merasa kasihan.

Penampilan memang menunjukkan kepribadian seseorang. Tapi tidak selamanya penampilan sesuai dengan kepribadian. Kita tidak perlu berlebihan menilai seseorang, karena Allah SWT tidak memandang manusia dari penampilan dan kondisi fisiknya. “innaallaaha laa yandzuru ilaa suwarikum wa laa ajsaamikum walaakinnallaaha yandzuru ilaa quluubikum” au kamaa qoola (al-hadits). Sesungguhnya Allah tidak memandang wajah dan dan tubuhmu, tetapi Allah melihat hatimu.
Dalam Al Qur’an disebutkan “...innaa akromakum ‘indallaahi atqookum...”. Sesungguhnya yang lebih mulia diantara kamu semua adalah orang yang paling bertaqwa.

Sekali lagi, jangan kita menilai orang lain berlebihan hanya dengan melihat penampilan dan fisik, karena siapa tahu dia lebih baik dari pada kita segalanya. Atau mungkin dia ternyata lebih takut kepada Allah SWT dari pada kita.

Wallaahu a'lam

3 comments:

Ali Imron said...

Apik-apik, memang betul mas. Aku setuju...

Aku titip link...

Agus Siswoyo said...

Tak salah kalau saya memilih foto profil saat ini. Penampilan sangat berpengaruh pada proses branding.

Bang Dje said...

Pepatah ini masih ada lanjutannya : "Ajining awak soko tumindak". Harga diri tergantung perilaku. Pengemis itu memang "sukses" mengelabuhi penumpang. Tapi kalau ternyata mereka menipu besar kemungkinan di saat yang lain para penumpang tidak meu memberi uang lagi. Mereka telah menurunkan harga dirinya sendiri. Walaupun dengan mengemis saja sudah menurunkan harga dirinya. Ditambah menipu, habis dah.
Tidak jarang kita terpesona oleh satu penampilan namun berujung dengan kata "ternyata". Ternyata penipu, ternyata koruptor, ternyata ...
Paling shohih mungkin dengan menggabungkan ketiganya. Penampilan memang tetap penting sebagai kesan pertama, lalu diikuti dengan perkataan yang benar dan tindakan yang baik.
(wah kepanjangan, ya ... )