03 March 2010

4 Hal Menjadikan Anda Mengabaikan Sholat


Waktu menjelang Maghrib ketika pelangganku datang. Kali ini dia bawa kerjaan suruh dibikinkan desain ucapan selamat buat temannya yang beberapa hari lagi menikah.
Saya tanya dia, “ini mau ditunggu atau ditinggal”
Dia jawab “ditunggu saja”.
Ya sudah saya kerjakan saat itu juga. Belum ada 10 persen ketika tiba-tiba adzan Maghrib berkumandang.
Saya bilang sama dia “mbak saya mau sholat dulu”.
Lalu saya sholat maghrib di musholla. Jam 18.30 saya sampai lagi di tempat kerja, saya lihat dia masih disitu.
“Lho mbak, sampeyan lagi enggak sholat to?” tanyaku (maksudnya lagi M).
“Enggak mas, saya enggak lagi merah” jawabnya.
“Kenapa enggak sholat dulu?” tanyaku lagi.
“Nanggung mas, sudah jam setengah tujuh lebih, entar saya sholatnya sama Isya’ sekalian” jawabnya.
“Gini mbak, lebih baik mbak sholat dulu aja, masih cukup kok waktunya. Tuh di musholla juga ada mukena. Ini kerjaan biar saya teruskan.” saranku.
“Nanti aja lah mas, nanggung” dia tetap enggan beranjak.
“Ya sudah, entar resiko tanggung aja sendiri” batinku.


======================

Mungkin kita sering mengalami kondisi yang mirip dengan mbak tadi. Merasa diburu aktifitas sehingga kewajiban kadang terabaikan.
Banyak faktor yang membuat hal itu bisa terjadi pada kita bahkan mungkin terlalu sering. Ini diantaranya…

1. Berkurangnya rasa takut dalam hati.

Sebagai seorang muslim kita sepakat bahwa pedoman hidup kita adalah Al Qur’an Al Karim dan As Sunnah. Di dalam Al Qur’an terkandung berbagai macam tuntunan. Ada perintah dan larangan. Ada hukum dan hukuman. Ada halal ada haram. Ada hikayat dan berita. Ada pula janji dan ancaman.
Salah satu perintah yang tersebut di dalam Al Quran adalah perintah untuk mendirikan sholat.
“…Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS An Nisa’ : 103).

Perintah ini bersifat wajib dan tidak boleh ditinggalkan sama sekali, walau dalam kondisi apapun. Konsekwensi hukum wajib adalah adanya pahala dari Allah SWT bagi siapapun yang melaksanakan dan siksa bagi yang meninggalkan. Pahala dan siksa adalah dua hal berlawanan yang tidak akan pernah dijumpai didunia. Keduanya hanya ada di alam sesudah manusia mati yaitu akhirat atau yang disebut alam gaib. Disini keyakinan kita diuji karena alam akhirat tidak bisa diukur oleh akal manusia biasa. Satu-satunya yang membuat kita harus yakin dan percaya adalah adanya firman Allah di dalam Al Qur’an.
“ Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka “ (QS Al Baqarah, 2-3)

Efek yang seharusnya timbul dari keyakinan terhadap alam akhirat, terhadap adanya siksa dan pahala adalah tumbuhnya rasa takut dalam hati. Takut terhadap siksa neraka. Takut terhadap murka Allah. Dan takut pula untuk melakukan hal-hal yang mendekatkan diri pada murka Allah yang diantaranya adalah meninggalkan sholat pada waktunya.

2. Management waktu yang tidak teratur.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kita melaksanakan sholat beserta hal-hal yang berkaitan seperti bersuci dan berpakaian. 1 jam ? tidak. 2 jam ? tidak. ½ jam ? juga tidak. Paling banter cuma kira-kira 15 sampai 20 menit.

Management waktu yang tidak teratur bukan berarti sama sekali tidak beraturan. Hanya karena sudah terlanjur menganggap sholat sebagai sesuatu yang biasa sehingga pelaksanaannya seolah tidak mempunyai jatah waktu yang khusus. Asal senggang saja, asal mau saja, asal lagi ingat saja. Tidak pernah terpikirkan bahwa dengan waktu yang amat singkat kita sebenarnya sudah diberikan suatu keringanan dan kemudahan dalam menjalankan ibadah.
Coba bayangkan seandainya kewajiban sholat itu memakan waktu berjam-jam seperti kewajiban kerja para karyawan pabrik atau pegawai kantoran, pasti akan sangat berat sekali.

3. Merasa bahwa aktifitas dan kondisi yang tengah dialami lebih penting dari sekedar melakukan kewajiban sholat.

Kalau hal yang ketiga ini yang merasuk dalam perasaan kita, selayaknya kita bertanya pada diri sendiri. Siapa sebenarnya yang menginginkan atau menyebabkan kita ada dalam kondisi tersebut?
Misalnya seorang pengantin atau mungkin yang lain. Dia dirias dari pagi untuk digunakan hingga sore hari. Kata peƱata riasnya jangan sampai kena air biar make upnya tidak luntur. Lalu dia meninggalkan sholat Dzuhur karena tidak ingin make upnya hilang kena air wudlu.
Siapa yang menginginkan dia dalam kondisi itu, seperti dikungkung riasan wajah. Dia sendiri kan…

Ketika pekerjaan yang kita jalani serasa membelenggu kita sehingga menyisihkan 15 menit untuk sholat saja terasa berat, kita juga layak bertanya pada diri sendiri siapa yang menginginkan hal ini, pekerjaan kita kah?, bos kita kah?, tuntutan nafkah keluarga kah? Atau jangan-jangan KITA SENDIRI YANG MEMILIH.

Semua garis kehidupan termasuk aktifitas kita secara hakiki adalah Allah yang mengatur dan menggariskan. Namun ikhtiyar dalam menjalaninya semua diberikan kepada kita. Dan kita juga yang akhirnya memilih. Bukan bos kita, karena dia jadi bos setelah kita menghendakinya dengan menjadi seorang karyawan. Bukan pekerjaan kita karena ia jadi pekerjaan setelah kita memilih untuk menjadi pekerjanya. Bukan pula tuntutan nafkah keluarga karena ia datang setelah kita memilih untuk memikul tanggung jawab sebagai seorang pemberi nafkah.

Kita tidak boleh menyalahkan kondisi karena semua pilihan ada di tangan kita. karenanya kita harus memilih mana yang akan diutamakan, kepentingan dunia yang seolah tiada habis sebelum kita mati, atau 15 menit untuk melaksanakan sholat dan setelah itu aktifitas duniawi kita bisa dilanjutkan tanpa kehilangan pelaksanaan kewajiban untuk ibadah.
"dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) "(QS Adh Dhuhaa : 4)

4. Tidak memahami rasa terima kasih

Sebenarnya diantara kita banyak yang tahu bahwa diri kita telah dikaruniai nikmat yang sangat banyak. Bahkan sampai tidak bisa kita hitung. Dari bangun tidur sampai kita tidur lagipun dikelilingi berbagai macam nikmat.
Tubuh kita sehat dan normal itu nikmat. Masih bisa makan dan minum itu nikmat. Bisa tidur itu nikmat. Bisa buang air besar atau kecil lancar itu nikmat. Bisa buang angin itu nikmat.
Pikiran cerdas itu nikmat. Akal sehat itu nikmat. Otak cemerlang itu nikmat.
Pekerjaan ada itu nikmat. Tempat tinggal punya itu nikmat. Punya kendaraan itu nikmat. Bisa belajar dan punya ilmu itu nikmat. Punya kesempatan bergaul itu nikmat. Punya pasangan hidup itu nikmat. Punya anak itu nikmat. Punya duit itu nikmat.
Bisa beraktifitas itu nikmat. Didengarkan orang lain ketika bicara itu nikmat. Dihargai orang lain itu nikmat. Disapa orang lain itu nikmat. Bisa tertawa itu nikmat. Bisa menangis itu nikmat. Bisa memberi orang lain itu nikmat. Diberi orang lain juga nikmat. Menolong orang lain itu nikmat. Ditolong orang lain itu juga nikmat.
Seolah tidak akan pernah habis jika dituliskan disini.

Kita juga banyak yang tahu bahwa semua nikmat yang kita terima dan kita rasakan adalah karunia dari Allah, Tuhan yang menciptakan segala kenikmatan. Yang mungkin kurang kita pahami adalah bagaimana sikap kita atas nikmat itu sendiri dan sikap kita kepada Tuhan yang memberi nikmat. Syukur… ya semua orang tahu itu. Tapi bagaimana caranya?

Cukup banyak definisi dari pada syukur. Namun yang paling menonjol bahwa syukur adalah menggunakan segala nikmat Allah untuk mendekatkan diri kepada Allah yaitu ibadah.
Tubuh sehat gunakan untuk ibadah,
Akal sehat gunakan untuk ibadah,
Rizqi cukup gunakan untuk ibadah,
Kesempatan ada gunakan untuk ibadah,
Tempat tinggal gunakan untuk ibadah,
Umur panjang gunakan untuk ibadah,
Dan nikmat-nikmat yang lain gunakan untuk ibadah,

Sholat adalah ibadah. Karenanya dengan aktif melaksanakan sholat cukup menjadi salah satu bukti syukur kepada Allah atas nikmat yang diberikanNya. Meninggalkan sholat berarti mengabaikan rasa terima kasih kepada Allah dan itu cukup menjadi alasan bagi Allah untuk menurunkan adzabNya yang sangat pedih dan menakutkan.

Mari aktifkan kembali sholat kita. Jangan hanya karena singkatnya lantas kita mengabaikan. Jangan karena tak ada yang mempermasalahkan lantas kita meninggalkan.
Ingat... kita semua diintai kematian. Setelah kita dijemput tak ada lagi yang berguna selain amal ibadah dan tak ada lagi kesempatan tuk kembali memperbaiki amal.

Wallaahu a'lam

1 comment:

Bang Dje said...

Subhanallah sudah diingatkan lagi. Terima kasih, Mas. Empat perkara ini memang paling mendasar. Namun saat ini saya sedang berkutat dengan poin 2.
Saya ingin menambahkan satu hal yang mungkin bisa meningkatkan motivasi. Biasanya saat saya berjalan ke musholla adalah saat saya bisa sambil merenung. Ini termasuk saat saya merasa paling santai/tenang. Saat bisa berpikir lebih jernih dan bisa memandang sesuatu dengan sudut yang berbeda. Bisa pula muncul ide untuk menulis artikel.
Saya juga bisa memanfaatkan saat ini untuk memberi pelajaran kepada anak sulung saya (usia menjelang 5 tahun, adiknya 1,5 tahun belum saya ajak, keduanya laki-laki). Biasanya pelajaran yang langsung diterimanya di alam terbuka dengan cara yang santai bisa "masuk".
Semoga bermanfaat.
Kunjungan pertama, salam kenal.